top of page

Kisah Penebusan Seorang Mantan Tunawisma

Writer's picture: Louis LodevikLouis Lodevik

Oleh Ashley Stewart


Di Norfolk, Virginia, seorang gadis kecil duduk di tengah pusaran kekacauan di pemakaman ibunya. Ashley Stewart berusia 11 tahun ketika ibunya meninggal karena kanker pankreas, tetapi itu bukan satu-satunya kesulitan dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang yang kasar. Ashley mengatakan ibunya biasa melarikan diri ke kamar dan berdoa untuk anak-anaknya sementara ayah Ashley akan menendang pintu kamar, berteriak padanya.

Terlepas dari kekerasan yang dialaminya, ibu Ashley tetap mencari dan mempercayai Tuhan. Terkadang dia mengajak Ashley untuk membagikan traktat dan berbagi Injil kepada tetangga-tetangganya. Meskipun dia tidak menyadarinya, Ashley yakin ibunya sedang mempersiapkan mereka sebelum kematiannya.


“Ibuku biasa mengoleskan minyak di dahi kami sebelum kami pergi tidur dan ketika kami bangun,” kata Ashley, “dan dia akan melakukannya lagi dan memberi kami ciuman.”


Tiba harinya ketika kanker merenggut nyawa ibu Ashley. Namun, pada resepsi pemakaman, kekacauan terjadi. Kakak Ashley lari ke jalan dan memberi tahu para tetangga tentang kekerasan yang dilakukan oleh ayah mereka. Saat komunitas bersama dengan pekerja sosial memberikan pertanyaan-pertanyaan, ayah Ashley, seorang pastor dan anggota keluarga mereka berdebat tentang tuduhan kekerasan yang dilaporkan oleh kakak Ashley. Keluarga dari ayah mereka, kemudian menghukum kakaknya yang pada saat itu masih dalam keadaan berduka.


“Ini menyedihkan karena ayah saya sangat kasar kepada ibu saya, dia sering memukulinya dan dia bahkan tidak bisa pergi (meninggal) dengan damai. Anak-anaknya bahkan tidak bisa mengucapkan selamat tinggal,” Kata Ashley sambil menangis.


Seminggu kemudian, ayahnya membawa pulang kekasihnya yang baru, seseorang yang menjadi penyebab putusnya komunikasi antara Ashley dan kakaknya. Keluarganya kemudian pindah ke Florida, tetapi kakak Ashley tetap tinggal di Virginia. Itu adalah awal dari sembilan tahun terpisahnya antara Ashley dan keluarganya dengan kakaknya.

Suatu hari, Ashley menemukan nomor telepon kakaknya yang tertulis di secarik kertas. Dia memanggil nomor itu dan keduanya bersatu kembali. Saking gembiranya, mereka mengobrol selama beberapa jam. Kakaknya mengemudi dari Virginia ke Florida (tempat tinggal Ashley) dan keduanya pindah bersama. Ashley mengawasi anak-anak kakaknya dan pergi ke sekolah sementara kakaknya bekerja. Tetapi keadaan terus menjadi sulit. Kakaknya kehilangan pekerjaan dan keluarganya terusir dari rumah mereka. Akhirnya mereka berakhir di perumahan transisi (rumah tempat penampungan).


Rumah transisi menjadi pengalaman yang tidak manusiawi bagi Ashley. Para pekerja sosial akan mengobrak-abrik sumbangan yang ditujukan ke para penghuni, memilih apa yang mereka inginkan sebelum mengizinkan penghuninya menerima barang-barang tersebut.

"Anda merasa malu," kata Ashley. “Orang-orang sudah terluka, kamu tidak perlu melukai mereka lagi.”


Akhirnya situasi Ashley membaik, tetapi pengalaman di rumah transisi menjadi sangat penting baginya. Apa yang dia alami memicu gairah yang kuat dalam dirinya. Ashley memutuskan, melalui pengalaman itu, bahwa dia ingin mewujudkan rumah transisi bagi orang-orang yang sudah lanjut usia. Untuk mewujudkan impiannya tersebut, Ashley bekerja dua pekerjaan paruh waktu (salah satunya di kantor pusat Cru) dan sekolah penuh waktu di University of South Florida sampai mendapatkan gelar master dalam pekerjaan sosial.

Ashley mengatakan pengalaman hidupnya sangat menyakitkan dan dia masih memikirkannya sampai sekarang. "Aku seharusnya menjadi sangat jahat," kata Ashley bercanda. “Tapi yang terjadi malah kebalikannya… sekarang saya sangat sensitif terhadap orang lain.”

“Bagaimana saya bisa sampai di sini, di Cru, tidak ada selain Tuhan yang bisa melakukannya ... Dari awal hingga menemukan kakak saya, hingga pindah ke Orlando. Bahkan menjadi tunawisma untuk sementara waktu, saya tahu bahwa itu sudah ditakdirkan. Jika saya tidak mengalami itu, saya tidak akan mengerti apa yang dialami oleh anar-anak asuh."


Penyertaan dan kehadiran Tuhan mendorong impian Ashley. “Saya bisa memahami para remaja ini,” katanya. "Saya tahu bagaimana rasanya, dan saya tahu mereka mampu melakukannya dengan bantuan Tuhan. Tangan Tuhan telah menyertai saya sepanjang hidup; Dia terus menjaga saya dan saya ingin berbagi dengan mereka."


Salah satu bagian yang paling sulit, tetapi penting, dari proses penyembuhan Ashley adalah pengampunan. “Anda dapat berbicara tentang anugerah Tuhan dan Anda dapat membacanya, tetapi hanya Tuhan yang dapat memungkinkan Anda untuk memaafkan orang lain, terutama setelah pengalaman yang sangat sulit.”


Sekarang ini, Ashley bekerja untuk mewujudkan impiannya itu hari demi hari. Dia berharap suatu hari nanti, sebagai hasil dari pengalamannya, dia dapat membantu membawa kenyamanan dan kedamaian bagi orang-orang yang benar-benar membutuhkannya dan menunjukkan kepada mereka bahwa bagi Tuhan, penebusan tidak mustahil sama sekali.

2 views0 comments

Recent Posts

See All

EDISI RENUNGAN

Pertama kali saya memulai pekerjaan ini karena terinspirasi oleh kesaksian-kesaksian kristiani yang saya baca atau dengar. Begitu sering...

Comentarios


bottom of page